Menolak Pilkada Ditengah Pandemi

 Dinasti kekuasaan| Politik


"Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin"

Ungkapan salah satu lagu yang menggelitik,  membuka cakrawala, melihat dengan mata yang tertutup, merasakan dengan hati yang bernurani

Jika dewi keadilan, disimbolkan dengan mata tertutup. Apakah orang awam sepertiku harus melihat dengan mata yang tertutup pula? Tanyaku pada diri, sehingga tulisanku terbilang aman aman saja. Tanpa harus mengkritik dengan tendensi. Jika mengkritik kita akan dibui. Demokrasi yang diperjuangkan aktivis 98 hanyalah ilusi belaka.

Negara demokrasi seperti negara kerajaan saja rasanya. Anak menantu keponakan dan kerabat keluarga menjadi orang-orang yang menikmati kekuasaan. Rupanya Menjadi berkuasa memang Nikmat. Kita bebas saja berlindung dengan label "keluarganya bapak/ibu ini, kau jangan macam-macam"

Aset negara dimanfaatkan, hutan dikeruk, lautan ditambangi, kebebasan berbicara dihimpit dengan undang-undang ITE, ada ada saja

Pamdemi yang belum beakhir dan pilkada yang sudah didepan mata
Dua hal yang menjadi renungan untuk menyelamatkan nyawa manusia
Jika ingin memilih, mungkin seluruh manusia yang ada dibumi ini tidak ingin merasakan wabah. Tetapi ini adalah ujian yang memang harus kita lawan bersama. Ingin menyelamatkan kekuasaan atau ingin menyelamatkan nyawa?

Katanya jika politik tidak berjalan negara akan macet? 
Tetapi faktanya jika kita tidak memprioritaskan hak rakyat untuk sehat negara akan berkali-kali macet dan kesengsaraan tak kunjung berhenti

2 ormas tertua (Muhamadiyah dan NU) telah mengeluarkan surat, lalu bagaimana kebijakan dan hati nurani mu wahai penguasa? 
Apalah kami, rakyat kecil yang butuh jaminan perlindungan kesehatan

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama